Belajar dari Seed War

Dipresentasikan Acara Debat Terbuka Pesta Sains IFI LIP Prancis Jakarta
Kedutaan Besar Prancis 
Kamis, 27 Oktober 2016

Belajar dari Seed War
(Yusup Martani/081317805953)

  1. 1. Pertama 
  • Hal penting yang saya tangkap dari film Seed War adalah: 1) benih merupakan awal mula proses budidaya pangan dan 2) ketika benih dikuasai oleh sedikit pelaku industri, maka kemudian 3) mereka menguasai dan mengatur pangan dunia, 4) ketersediaan varian pangan berkurang, 5) ketergantungan petani atas benih dari pengusaha, 6) ketercemaran lingkungan, dan 7) menurunnya kesehatan dan keamanan pangan
  • Muncul pertanyaan mengapa dan bagaimana situasi tersebut bisa terjadi?
  • Vandana Shiva telah memulai “perlawanan” untuk merubah situasi tersebut. Mulai dari membangunkan kesadaran di tingkat petani di desa-desa hingga kampanye dan lobby di aras internasional.
  • Muncul pertanyaan: masing-masing diri kita akan berdiam diri menikmati situasi yang ada dan menjadi bagian dari rejim pangan dunia, atau ingin melakukan perubahan sebagaimana Vandana Shiva? 
  • Ada sebuah artikel/berita yang pernah saya baca mengungkapkan bahwa petinggi politik di Amerika bersikap mendua: sebagai pejabat mereka membuat kebijakan mendukung Monsanto, tetapi sebagai pribadi mereka menghindari produk-produk industri pangan dan memilih pangan sehat. 
  1. 2. Kedua 
  • Saya berpendapat bahwa perihal pangan bermula dari tesis Thomas Malthus (1766-1834) dengan gagasan pokok bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampaui pertumbuhan persediaan pangan. Penduduk akan cenderung tumbuh mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16,….), dan produksi pangan cenderung mengikuti deret hitung (1,2,3,4,5,…..). 
  • Pemikiran Malthus membawa pada kesadaran (kekhawatiran) akan terjadi krisis pangan. Pada saat yang sama Malthus juga mengusulkan dilakukan “pengendalian moral” agar pertumbuhan penduduk dapat terkendali. Namun gagasan ini kurang populer bahkan hingga kini.
  • Gagasan yang lebih diperhatikan dan “sukses” adalah ide Norman Borlaug untuk meningkatkan produksi pangan dengan cara yang kemudian dikenal dengan revolusi hijau. Keberhasilan ujicoba revolusi hijau gandum di Mexico mendorong mobilisasi sumberdaya untuk menyebarluaskan praktek revolusi hijau ke seluruh dunia, yang pada intinya penggunaan benih unggul, pupuk dan obat-obat pertanian kimia. 
  • Ketakutan akan kurang pangan dijawab dengan upaya peningkatan produktivitas masal melalui rekayasa benih, pupuk dan obat-obatan pertanian. Hanya benih unggul yang dipelihara, yaitu benih dengan produktivitasnya tinggi, dan umur pendek. Selain itu akan diabaikan.    
  • Swasta diberi kesempatan dan didukung oleh pemerintah untuk melakukan rekayasa dan hasilnya kemudian dipatenkan. Proses dan cara berbudidaya juga ditentukan oleh pembuat benih. Pada saat itu dimulailah perubahan dari “bertani (farming) fabrikasi tani (factoring)”. Pada gilirannya proses olah rasa/olah pangan berubah menjadi industri pangan”. 
  • Berpayung pada paradigma tersebut, pembangunan pertanian pangan maupun pertanian nonpangan, telah mengukuhkan industri (benih, pupuk dan obat-obatan kimiawi) sebagai faktor produksi yang dominan (paling signifikan) pengaruhnya. Berhasil ditanamkan suatu keyakinan bahwa “peningkatkan produksi pertanian berbanding lurus dengan penggunaan benih unggul beserta pupuk dan obat-obatan”. Implikasinya, kemampuan dan kemauan petani untuk menyediakan sendiri faktor produksi tersebut menurun dan bahkan hilang. Di tingkat makro, industri pupuk dan obat-obatan pertanian dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia.

  1. 3. Ketiga
  • Perkembangan produksi pangan kemudian diikuti dengan industri pengolahannya.
  • Pernahkah kita bertanya dari mana, siapa yang membuat, bagaimana cara membuat dan terbuat dari apa makanan kita? 
  • Dengan berbagai upaya, semua industriawan pangan berupaya untuk menjadikan semua orang sama dan seragam dalam hal rasa dan konsep mengenai kecukupan dan kesehatan pangan
  • Rasa takut kekurangan cenderung kita akan memproduksi dan mengolah pangan berlebihan. Pernahkah kita sadar berapa banyak kita (di rumah, warung makan, tempat pesta dll) menghasilkan sampah pangan (food waste).
  • Belum ada upaya serius untuk mengendalikan food waste.
  1. 4. Keempat
  • Jika kita amati dengan cermat situasi pertanian pangan, situasi apa sebenarnya yang perlu kita khawatirkan? Cara berbudidaya yang seragam.
  • Apakah budidaya organik dapat menjadi solusi? Ya, jika cara bertani dilakukan dengan farming; tidak, jika organik juga sudah menjadi factoring.
  • Banyak pemahaman mengenai budidaya organik. Martani lebih memilih cara yang dikenal dengan LEISA (Low Ekternal Input Sustainable Agriculture). LEISA akan memberi peluang lebih besar kepada petani untuk mandiri. Contoh: meskipun organik, pupuk yang diproduksi masal oleh pabrikan akan dihindari.
  • Jenis yang ditanam adalah apa yang cocok dan dikuasai oleh petani
  • Konsumsi sendiri dulu, baru sisanya dipasarkan. Pasarkan mulai dari yang dekat.
  • Setiap individu unik dalam hal fisik, budaya dan kondisi alam sekitar tempat hidupnya. Ada orang yang cukup makan dua kali sehari ada yang tidak, ada yang kuat makan cabe ada yang sakit perut, ada yang hidup di daerah pantai ada yang di pegunungan.
  • Belajar dari Muhammad SAW: makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang
  • Belajar dari orang Jawa: semua dapat diserap tetapi tidak pernah menjadi apa yang diserap (sinkretisme), saya tidak menolak burger, spagetti (barat), mau juga makan kebab (timur), bisa juga makan mie (china), ataupun nasi (india). 
  • Belajar dari ilmu sosial ekonomi: populisme (Chayanov) dan anarkisme (menghargai keunikan dan keberagaman, memilih untuk tidak besar dengan alasan efisien dan produktif). 
  • Saya akan memilih makan dengan cara mengolah sendiri ketimbang beli makanan mateng, jika harus beli saya akan memilih yang berbahan lokal bukan impor (karena pasti lebih segar dan sehat), saya akan memilih pangan yang bukan kemasan, karena ada keunikan rasa, sementara kalo kemasan dapat dipastikan rasanya sama. 
  • Itulah organik dalam pangan dan bertani. Itulah Sistem pangan lokal : sustainable food production-consumption

  1. 5. Kelima
  • Martani dibentuk pertama kali pada tanggal 23 Maret 2014. Pada awalnya Martani merupakan bagian dari program  KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), sebuah koalisi yang beranggotakan LSM pendamping petani di Bogor. Mandat utama Martani adalah untuk: 1) menjalankan misi KRKP mewujudkan “Perdagangan yang Adil”, “pertanian berkelanjutan”, dan “konsumsi pangan lokal sehat”; dan 2) menjadi media komunikasi antar anggota kelompok petani produsen dan konsumen melalui perdagangan pangan lokal sehat.
  • Usaha pokok Martani adalah perdagangan pangan sehat hasil produksi petani dampingan anggota KRKP, terutama beras dan palawija. Pada tanggal 17 Juli 2015, Martani memisahkan diri dari KRKP menjadi sebuah entitas bisnis mandiri dan berdomisili di Cepoko, Bugisan, Prambanan, Klaten. Perpindahan ke Prambanan dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada kelompok petani produsen yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Bantul. 
  • Martani merupakan bahasa Jawa, sebagai laku (predikat) mempunyai arti “menghidupi” dan sebagai subyek/obyek dimaknai sebagai “sumber penghidupan”. Martani dapat dipandang sebagai penggabungan dua suku kata: Mart dan Tani, Mart dalam Bahasa Inggris berarti pasar, dan Tani berarti petani. Sehingga Martani dapat dimaknai sebagai pasarnya petani, “tempat” dimana petani dapat memasarkan produknya.
  • Misi Martani sebagai entitas bisnis adalah menyediakan pangan lokal sehat secara ajeg dan mendapatkan keuntungan. Sehat dalam hal ini adalah tanpa pestisida, pengawet, pewarna, perasa, pengenyal (5P) buatan; lokal: dapat ditelusuri asal dan cara produksinya, serta minimal kandungan impor dan produksi pabrikan besar; dan ajeg: produksi, penyediaan dan pelayanan lancar secara kuantitas dan kualitas. Prinsip berdagang yang dipegang Martani adalah jujur, saling percaya, dan saling menguntungkan. Sehingga diharapkan dapat visi Martani: olah rasa mbangun jiwa (secara bersama mengalami dan memaknai untuk saling menghidupi).



No comments:

Post a Comment